Jumat, 26 November 2010

Kamichama Karin

Kamichama Karin © Koge Donbo

Chapter II

Kazune terus mengitari pulau ini. Kakinya sudah tak dapat terkatakan lagi pegalnya, suaranya sudah serak karena sedari tadi memanggil-manggil Karin tanpa jawaban. Belum lagi rasa khawatirnya yang semakin menjadi, takut kalau terjadi sesuatu pada Karin di dalam sana. Sementara tubuhnya sendiri pun sudah tergores disana-sini, terkena ranting pohon, kakinya masuk ke dalam lubang beberapa kali. Ia tak peduli lagi dengan itu semua, dan ia tak juga peduli apabila ada datang bantuan, ia tidak mau egois tanpa mementingkan Karin. Yang menjadi prioritasnya hanyalah menemukan Karin. Ia tidak tahan hanya duduk diam menunggu Karin kembali.
Matahari sudah berada berhadapan tepat dengan ubun-ubun, menyengat, tentunya. Keringatnya turun dengan cepat dari kepala menuju wajahnya, banyak, menetes banyak. Dahaga diacuhkannya, pendengarannya dipasang baik-baik, serta mata safirnya diarahkan ke segala arah dengan waspada.
Kazune hampir menyerah. Tubuhnya meringis meminta istirahat. Sudahlah, ia juga punya hak untuk beristirahat. Kemudian ia duduk di atas sebuah batu besar. Menghela nafas panjang, membiarkan dirinya larut dalam pejaman mata dan sandaran pada sebatang pohon dibelakangnya.
Lalu Kazune menundukkan kepalanya, memikirkan kemana lagi mesti mencari Karin.
Tapi sedetik berselang, matanya membelalak, melihat apa objek yang ada di tanah, terpantul jelas dimatanya, tetesan-tetesan darah yang sepertinya baru. Kazune memperhatikan luka-lukanya, dan tidak ada yang meneteskan darah sampai sebanyak itu. Darah itu seperti sebuah jejak, berceceran menuju ke hutan yang agak dalam rupanya. Pikiran Kazune hanya tertuju pada satu orang, Karin. Meski kemungkinannya ini berasal dari luka Karin, Kazune tetap berharap kalau Karin tidak apa-apa, tanpa mempedulikan lagi rasa lelahnya, Kazune berlar ke arah ceceran darah itu.
Sayup-sayup Kazune mendengar panggilan namanya. Suara itu terdengar merintih. Keringat lelah Kazune mulai berubah menjadi keringat dingin, jantungnya berdetak semakin kencang, larinya dipercepat.
"Karin!" Kazune akhirnya menemukan Karin sedang terduduk mengaduh memegangi pergelangan kaki kanannya yang terluka lebar. Sementara luka lain di tubuhnya, cukup banyak dan menggores sana-sini, membuktikan kalau tadi ia mengalami rintangan yang lumayan menyita energinya.
Karin menoleh pelan, matanya berair, sedikit lagi menumpahkan air mata.
"Karin! Kau tidak apa-apa?" Kazune spontan memeluk Karin, penumpahan ekspresi kekhawatirannya sedari tadi. Entah kenapa rasanya nalurinya ingin melakukan itu, seakan tidak ingin lagi Karin jauh darinya.
"Ka...Kazune?" Karin tampak salah tingkah dengan tindakan spontan Kazune.
"Jangan jauh dariku lagi, ya... Aku khawatir..." Kazune belum melepaskan tangannya dari bahu Karin, malah seperti mengeratkannya.
"E...Maaf... Tadi aku..."
"Ah, sudahlah... Sekarang obati dulu lukamu. Kita kembali ke tempat tadi." Kazune menyobek bagian bawah kemejanya, kemudian memetik beberapa lembar daun dan menempelkannya pada luka Karin, menutupinya dengan sobekan bajunya.
"Te...Terima kasih..." Karin cuma memperhatikan Kazune.
"Jangan membuatku khawatir lagi ya..." Kazune mengarahkan senyumnya pada Karin. Lembut.
Karin merasa sedikit lega. Ia kira tadi Kazune bakal mengomelinya habis-habisan gara-gara bertindak sendiri, yah, biasalah, Kazune memang terkadang cerewet, menurutnya.
"Maaf, Kazune, tadi waktu bangun aku tidak melihatmu, kukira kau tersesat. Kucari kau kemana-mana, eh, ternyata aku yang tersesat..." Karin menyeringai.
"Aku yang salah, meninggalkanmu tanpa bilang apa-apa. Maaf ya..." tangan Kazune terus mengurusi luka-luka Karin. Karin cuma duduk diam dan memperhatikan.
Suasana jadi hening untuk beberapa saat. Sampai Kazune menyelesaikan pengobatan sederhana ala dirinya sendiri.
"Karin..." mulainya.
"Apa?" Karin mengusap-usap luka gores ditangan kirinya.
"Aku takut kalau kau jauh dariku lagi..."
"Ha?" Karin mulai tidak paham.
"Karena itu... Maukah kamu jadi milikku? Agar aku lebih mudah menjagamu..." Kazune mati-matian menahan datarnya intonasi bicara, dan juga menjaga sebaik mungkin agar kemerahan di wajahnya itu tidak terlihat jelas.
"Be...Benarkah?"
"A...Aku su... Suka padamu sejak lama... Ba... Bagaimana denganmu tentangku? Mau menerimaku?" semakin lama, Kazune merasa cara bicaranya semakin payah.
"..."
"Karin, jawablah..." Kazune meraih tangan Karin, memegangnya erat.
"... A... Aku juga... Aku suka padamu sejak lama, Kazune... Aku mau menerimamu..."
Kazune cuma tersenyum, kemudian berdiri.
"Terima kasih." Kazune mengulurkan tangannya, membantu Karin untuk berdiri. Dan menatap dengan dalam lurus ke warna zamrud yang menghiasi mata Karin.
Susah payah Karin berdiri, dan menahan malunya karena ditatap seperti itu.
"Sini, kalau kau susah berjalan, naiklah ke punggungku." Kazune menundukkan tubuhnya, memberikan kesempatan Karin.
"Benar nih? Tidak apa-apa?"
"Iya. Kalaupun kau berat, paling-paling kusuruh berjalan sendiri." Kazune dengan santainya berkata.
"Kazune!
"Ahaha..." Kazune tertawa lepas. "Ayo, cepatlah, supaya kamu bisa beristirahat disana, sekaligus kalau ada bantuan."
Karin dengan perlahan melingkarkan tangannya pada leher Kazune, dan Kazune pun membawanya dipunggung hingga ke pesisir tempat mereka dari awal.
"Nah, turunlah. Jangan kemana-mana ya, aku mau mengambil buah-buahan dulu, kau lapar kan?"
"I...Iya, terima kasih..."
Kazune pun berlalu, meninggalkan Karin yang masih terbengong-bengong memandanginya, masih agak kurang percaya, apa yang barusan dikatakan Kazune di dalam sana. Nyata kan, kalau Kazune yang dikira Karin benci pada dirinya, ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Seperti mimpi... Meski sebelumnya ia mengalami kesulitan hingga terluka seperti ini, tak apalah... Sebanding dengan angan-angan perasaannya yang menjadi kenyataan.
"Nah, cuma ini yang bisa kudapat. Makan ya." Kazune melemparkan buah yang tampaknya bisa dimakan, dan mengambil posisi duduk tepat disamping kanan Karin.
"Terima kasih..." Karin mulai menggigit buah berwarna kehijauan itu sedikit demi sedikit.
Kembali hening yang menyelimuti atmosfer dari mereka berdua. Yang memberikan suaranya hanyalah hempasan ombak tiada henti yang sesekali menghantam karang-karang yang juga turut diam.
"Em... Karin, boleh aku tanya sesuatu?" Kazune tidak betah dengan suasana membosankan itu.
"Apa? Tanya saja."
"Menurutmu, aku ini orangnya seperti apa?"
Karin mengernyitkan alisnya hingga hampir bertaut satu sama lain. "Apa maksudmu menanyakannya?"
"Ah, itu... Aku cuma mau tahu, apa saja dari sifatku yang membuatmu suka padaku. Padahal selama ini kan kita sering bertengkar, mengutamakan keegoisan..."
"Apa ya?" Karin menggigit lagi buah ditangannya yang tinggal separuh. "Kazune itu egois, sering marah-marah, cerewet, suka mengejek perempuan..." Karin tersenyum kecil.
Kazune mencibir. Karin hanya tertawa lepas melihat ekspresi lucu itu.
"Tapi entah kenapa, biar Kazune egois, pemarah, selalu ada sisi yang membuatku senang berada di dekatmu."
"Apa itu?"
"Aku juga tidak tahu. Apa mungkin itu yang namanya 'cinta'?"
Kazune tersenyum manis.
"Lantas apa yang membuat kau suka padaku?" Karin gantian bertanya.
"Karin itu pemalas, bodoh, tidak mau menurut dengan kata-kataku..."
Karin memukul pelan pipi Kazune. Wajahnya memberengut.
"Sama sepertimu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa suka padamu. Terkadang kau terlihat aneh, tidak mau menurut, tapi, terkadang aku melihatmu sebagai seorang perempuan yang manis... Membuatku tidak tahan untuk tidak mengagumimu terus."
Karin menduga, warna wajahnya sekarang tidak dapat lagi dibandingkan dengan warna merah dari tomat. Merah sekali!
"Ups, Karin, ada sisa makanan dipipimu..." Kazune mengarahkan jemarinya, dan membersihkan dengan kelembutan ke pipi Karin yang agak kotor karena sisa makanan yang menempel.
Warna merah diwajah Karin masih tetap seperti beberapa menit yang lalu. Mungkin bertambah. Menyadari posisi wajah mereka yang kalau dihitung-hitung kurang dari sepuluh sentimeter.
Jantung Karin tak lagi bisa berdetak dengan tenang seperti biasa. Ia rasa jarak itu semakin memendek, hingga ia bisa merasakan hangat dari hembusan nafas Kazune yang menyentuh wajahnya, dengan pelan. Kalau ada penggaris mungkin hanya tinggal lima sentimeter.
"Maaf..." Kazune tiba-tiba menarik wajahnya menjauh, menutup mulutnya sendiri, dan Karin dapat melihat semburat kemerahan yang tergambar jelas, namun berusaha ditutupi.
"Ya..." Karin cuma bisa mengucapkan kata-kata singkat itu, tidak tahu apalagi yang mesti ia katakan. Ia masih berusaha meredakan detak jantungnya yang berdegup tanpa aturan.
"Maafkan aku... Aku tidak ingin bermaksud macam-macam..."
"Sudahlah, Kazune..."
Sedetik kemudian, Karin merasakan hangat dari bibir Kazune yang menyentuh pipinya. Kemerahan dipipinya yang sedari tadi mati-matian ditahannya kembali muncul.
"Tidak apa-apa, kan?"
Karin tersenyum, mengangguk. Kalau diibaratkan mungkin rasa senangnya itu seakan mampu membawanya terbang melewati gumpalan awan diatas sana.
Mereka cuma duduk diam lagi ditempat itu. Lelah menanti seseorang yang mungkin bisa membantu mereka.
"Hoahmmh..." Karin membuka mulutnya lebar-lebar, matanya sedikit berair, mengerjap menahan kantuk.
"Ngantuk ya?"
"Dilihat juga tahu, kan?"
"Kalau mau tidur di dalam sana saja." Kazune menunjuk ke dalam gua yang mereka tempati tadi malam.
"Tidak mau. Dingin. Kepalaku sakit gara-gara mesti tidur diatas batu itu." Karin menggeleng.
"Disini saja." Kazune melirik ke bahunya.
"Boleh ya?"
"Ah, kau ini. Mau tidur saja cerewet. Sudahlah, tidur saja." Kazune menekan kepala Karin agar menurut dan berbaring dibahu kirinya.
Karin mulai memejamkan mata. Membiarkan dirinya larut dalam keheningan, mengawali sebuah mimpi indah yang sebagiannya telah jadi kenyataan disampingnya.
Karin mulai membuka matanya kembali. Sedikit demi sedikit. Eh... rasanya ada yang aneh. Kenapa jadi pandangannya menunjukkan sebuah langit-langit. Bukannya tadi ia masih berada di pantai. Mana ada langit-langit di pantai?
"Hei, sudah bangun ya?" suara Kazune pertama kali didengarnya.
"Kita... Dimana?" Karin berusaha bangun.
Kazune cuma mengisyaratkan tempat mereka sekarang.
"Eh, sejak kapan?"
"Rupanya tidurmu pulas sekali, ya... Sampai-sampai tidak sadar waktu kubawa ke dalam kapal ini."
"Be...Berarti kita..." Karin langsung melonjak kegirangan, dan secara spontan memeluk Kazune, karena saking senangnya.
"He...Hei Karin, lepaskan! Sakit nih..." Kazune berusaha meronta.
"Oh, maaf... Aku terlalu senang. Kupikir sampai kapan kita akan berada disana..." Karin menjauh.
"Yah... Syukurlah... Mereka menemukan kita tepat sebelum malam tiba."
Karin kembali duduk. Sedikit meringis, karena tadi meloncat-loncat kesenangan, kakinya yang terluka jadi sakit lagi.
"Eh, kau kenapa? Marah ya? Ah... Bukan maksudku tidak senang kamu peluk kok... Cuma..." Kazune mendekat.
"..." Karin tidak berkata apa-apa. Matanya melirik kesana kemari. Berpura-pura ngambek, ingin tahu bagaimana reaksi Kazune.
"Kau boleh memelukku lagi, kok..." Kazune mengulurkan kedua tangannya.
Karin cuma tertawa, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Kazune, dan melingkarkan tangannya ke leher Kazune. Sementara Kazune cuma mengelus rambut panjang Karin dengan lembutnya.
"Ehm...Ehm... Maaf mengganggu kalian berdua... Sepuluh menit lagi ada acara makan malam di lantai bawah." seseorang yang ternyata Micchi, mengejutkan mereka berdua.
"Akh... I... Iya... Terima kasih, Micchi." Karin menjauh, dan menggaruk kepalanya yang sebetulnya tidak gatal. Salah tingkah tepatnya. Kemudian Micchi pun berlalu.
"Ayo, Karin..." Kazune mengulurkan lagi tangannya pada Karin.
Karin menyambut uluran tangan itu, Menautkan jemari lentiknya kepada Kazune. Dan berjalan keluar dari tempat itu.

 
fiuhhhhh...................
akhirnya selesai juga! -,-                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar