Jumat, 26 November 2010

Kamichama Karin


Kamichama Karin © Koge Donbo

Chapter I


Bola keemasan itu sebentar lagi tertelan oleh luasnya samudra yang seakan tak berbatas, tak menunjukkan sebuah ujung. Semilir mengiringi lembayung yang menipis, dan sebentar lagi akan digantikan oleh gemerlap bintang yang berkilauan. Karin membiarkan dua kepangan rambut yang terjuntai didekat telinganya beradu dengan derasnya angin. Kedua tangannya menopang dagu, kedua mata zamrudnya dibiarkan tertutupi oleh sang kelopak mata. Menikmati suasana senja di pinggiran sebuah kapal pesiar yang bisa dibilang lumayan mewah. Beruntung sekali, dan ia bersyukur ia memutuskan untuk ikut. Teman sekelasnya ada yang memiliki perusahaan besar, dan bersedia menyewa sebuah kapal pesiar untuk acara perpisahan SMP kelas mereka.
Karin menarik nafas dalam-dalam. Meresapi aroma laut yang sangat disukainya. Tiba-tiba sebuah hembusan nafas hangat menyapa telinganya.
"Kazune!" katanya terkejut. Ketika membalikkan badan, ada sosok Kazune dengan senyum yang dianggap Karin adalah senyuman termanis sejagat raya.
"Sendirian?" Kazune mengambil tempat berdiri di samping Karin.
"Kau tidak lihat?"
Kazune tertawa kecil. Kemudian hanya ada desiran angin yang menyela keheningan mereka.
Karin mengarahkan bola mata zamrudnya pada Kazune. Rambut pirang anak itu, tertiup sesekali. Matanya cuma lurus ke depan, mengkonsentrasikan pada rombongan camar yang berkejaran ditemani ombak. Karin mengagumi orang yang disukainya ini, yang mungkin orang yang paling mendekati kesempurnaan, dengan kulit putih dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, apalagi ditambah dengan mata sebiru permata safir yang terlihat selalu membiaskan cahaya dengan kebeningan yang menambah keindahannya.
Selalu, Karin ingin memilikinya, hanya untuknya seorang.
Tapi, jika Karin berkaca bagaimana dirinya, dia jadi merasa tidak cocok dengan sosok Kazune yang begitu dikaguminya. Apa kelebihannya yang bisa membuat Kazune tertarik atau cuma sekedar mau menyanjungnya sedikit? Dirinya ini anak yang bodoh, tidak pandai dalam mata pelajaran apapun, tapi Kazune cerdas dan bisa dalam hampir semua mata pelajaran. Karin bukan perempuan yang cantik, biasa saja, sedangkan Kazune, dengan penampilan setampan itu tentu dapat menarik semua perhatian perempuan manapun.
Karin menghembuskan nafas panjangnya. Apa memang benar-benar bisa?
"Karin?"
"Karin?" suara Kazune akhirnya bisa sedikit menyadarkan Karin yang sudah terlarut dalam bayangannya akan Kazune.
"E...Ehm... Apa?"
Karin memperhatikan ada sedikit bayangan merah muda yang mewarnai bagian pipi Kazune. Memang senada dengan warna senja, tapi Karin bisa menangkapnya.
Jangan-jangan? Tanya Karin dalam hatinya. Jadi teringat adegan di komik-komik remaja yang sering dibacanya. Pernyataan cinta yang romantis dinaungi semburat senja.
Karin menepuk-nepuk pipinya. Berusaha meyakinkan dirinya kalau hal itu sangat tidak mungkin, mustahil untuk gadis sepertinya.
"Aku..." Kazune terdengar menahan suaranya.
"Apa?" Karin berusaha sesantai mungkin, meski jantungnya dalam keadaan berbanding terbalik. Penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Kazune sampai jadi terbata-bata seperti itu.
"Ikatan rambutmu miring sebelah tuh..." Kazune membuang pandangannya dari Karin, kembali pada lautan yang tampak oranye, memantulkan sinar yang mendominasi langit sekarang ini.
Karin terhenyak. Serasa dijatuhi ribuan, ehm, mungkin jutaan batu meteor. Mengapa mengatakan hal itu saja sampai terbata-bata seperti itu?
Mereka larut lagi dalam keheningan. Sampai alam sedikit menunjukkan perubahan. Angin yang kurang bersahabat mulai berhembus, ombak tampak lebih tinggi.
"Karin, ayo masuk. Kau mau masuk angin disini?" ajak Kazune.
"Nanti dulu, ah. Malas, pemandangannya masih bagus dilihat. Jarang-jarang kan, bisa ikut acara seperti ini?"
Kazune bertahan. Sebenarnya, kalau bisa jujur, ia juga tak bisa meninggalkan Karin sendiri. Walau itu tak bisa ia akui langsung.
Terus, hingga lima menit kemudian, cuaca benar-benar berubah. Kazune langsung menarik tangan Karin, tapi sepertinya mereka sudah terjebak. Untuk berjalan saja sudah sulit, karena terhalang angin yang sudah mengganas.
"Nah, kita jadi terjebak, bodoh! ini gara-gara kamu yang tidak mau kuajak masuk dari tadi!" Kazune setengah berteriak.
"Kenapa jadi malah menyalahkanku? Kenapa tadi tidak masuk sendiri saja? Aku tidak memintamu menungguku kok!" Mereka jadi terpaksa bertengkar, yah, mereka memang sering mengedepankan ego masing-masing. Karin lalu melepaskan dengan paksa tangan Kazune yang menggenggamnya.
Tapi kapal itu sedikit oleng karena pengaruh ombak yang meninggi. Malangnya, Karin sedang berada pada bagian paling ujung kapal, dan...
"KARIN!" Kazune ingin bergegas mengejar Karin, mengulurkan tangannya untuk mencegah Karin agar tidak jatuh ke laut yang sedang mengamuk itu. Tapi sudah terlambat. Tubuh Karin kini sedang terombang-ambing mempertahankan diri dari serangan ombak di bawah.
Kazune menoleh ke kanan dan kiri. Siapa tahu ada semacam benda yang bisa digunakan untuk menolong Karin. Tapi tidak ada satupun yang terlihat bisa untuk dipakai. Wajahnya bertambah cemas. Perasaannya menuntut otaknya untuk berpikir lebih cepat. Masuk untuk keselamatannya sendiri? Egois! Bentaknya pada pemikiran sekilasnya tadi. Mana bisa ia meninggalkan seseorang yang disukainya dalam kesulitan, hanya karena dia sendiri tak bisa melindungi Karin?
Kazune menerjunkan dirinya ke arah Karin yang sedari tadi menggapai-gapaikan tangannya. Meraih tangannya, menggenggam erat, agar tidak lagi terlepas darinya.
Sementara itu, Karin mulai sedikit kehilangan kesadarannya. Nafasnya mulai terasa sulit. Tapi diantara kesadaran yang melemah itu Karin seperti melihat sosok berambut pirang yang meraih tangannya. Tapi sesaat kemudian semuanya jadi menggelap.
Karin membuka matanya perlahan. Terasa pedih, seperti ada garam yang memasuki matanya. Kemudian bangun perlahan, kepalanya masih agak berat. Ia lalu meludahkan sedikit cairan yang ada pada mulutnya. Asin. Dilihat oleh sepasang mata zamrudnya telapak tangannya itu penuh dengan pasir putih. Pantai?
Tunggu dulu... Berarti...
Karin menengok ke kiri dan kanan. Benar, pantai yang melebar, dengan pohon kelapa yang lumayan banyak. Satu keadaan yang paling kontras disini. Sepi! Bagaimana ini?Apalagi dengan keadaan yang hampir malam, gelap.
Karin menggigit bibir bawahnya. Ia sendirian disini? Oh ya ampun... Mungkinkah ia berani? Mengingat tingkat ketidakberaniannya memang berada di stadium tertinggi.
Karin mengingat lagi apa yang terjadi dari ia masih sadar hingga ia membuka matanya kembali. Eh, bukankah waktu jatuh tadi Kazune juga bersamanya? Lantas dia dimana? Perasaan Karin memunculkan kekhawatiran yang kedua, setelah ketakutannya sendirian disini. Kazune dimana? Bagaimana kalau dia tenggelam di lautan hanya karena berusaha menolongnya? Oh tidak, Karin belum siap kehilangan Kazune, walaupun terkadang dia menyebalkan dan egois, tapi bagaimanapun dia tetaplah Kazune yang dia sukai, sayangi, meski ia sadar bahwa itu mungkin hanya sebuah rasa yang bertepuk sebelah tangan saja.
"Kau sudah sadar?"
Karin membalikkan badannya. Ini kan suara...
"Kazune!" Karin berlari menghampiri Kazune. Kemudian dengan spontan menarik pipi Kazune sampai si pirang itu mangaduh dan meronta.
"Lepaskan bodoh! Kau ini kenapa?" Kazune menghindarkan diri dari cubitan itu, dan terpaksa tangannya melepaskan patahan-patahan kayu ke hamparan pasir dibawahnya.
"Syukurlah, aku tidak jadi sendirian di tempat mengerikan ini..." Karin bernafas lega.
Kazune cuma menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian kembali membungkuk untuk memunguti kayu yang berserakan.
Suasana jadi hening untuk sejenak. Kazune sibuk membuat api untuk menghangatkan diri mereka malam ini.
"Kazune..." mulai Karin, tanpa menoleh sedikitpun dari Kazune.
"Apa?"
"Te...Terima kasih sudah menolongku tadi... Ta...Tapi karena aku juga, Kazune mesti ikut-ikutan terdampar ditempat ini..." Karin memainkan buliran pasir yang basah.
Kazune diam sejenak. "Ya..."
Karin tidak puas dengan kata-kata itu.
"Ano... kenapa kau menolongku?"
"Kenapa? Yah..." Kazune menggantungkan kata-katanya.
"Kenapa? Bukankah kita sering bertengkar? Kenapa kau malah menolongku?"
"Aku kesepian kalau tidak ada kamu..." Kazune membuang mukanya, malu kalau ketahuan dia sedang memerah wajahnya.
"Apa?"
"Bukan apa-apa. Lupakanlah." Kazune bersyukur, perkataannya tidak terdengar.
"Bagaimana ini? Bagaimana kalau mereka tidak bisa menemukan kita? Apa kita harus hidup selamanya disini? Jadi orang primitif yang jauh dari kehidupan kota yang indah?" Karin mulai panik.
Kazune cuma diam.
"Bagaimana ini, Kazune? Bagaimana cara kita minta pertolongan? Apa kita mesti berenang balik ke arah sana?"
Kazune tetap mengatup mulutnya. Membiarkan Karin terus mengoceh tanpa respon.
"Kazune!" Karin mulai marah omongannya tidak ditanggapi.
"Diam, bodoh! Mana bisa kita kembali hanya dengan keluhan bodohmu itu! Bersabarlah"
"Lantas bagaimana caranya? Apa kau sudah menemukannya?"
"Ya makanya tutup mulut cerewetmu itu!" Kazune membentak, mampu membuat Karin terdiam.
Karin menunduk. Terdampar di pulau sepi hanya berdua dengan Kazune, memang terdengar sangat manis bagi yang sedang jatuh cinta, akan tetapi jika ditambah dengan sikap menyebalkan Kazune yang sudah disembuhkan itu, rasanya cuma satu, KESAL!. Karin tidak dapat membayangkan hal menyebalkan apa yang bakal terjadi, meski ia akui, sebenarnya dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia suka, ehm, mungkin jatuh cinta pada Kazune, cowok tampan nan menyebalkan yang suka mengkritik wanita seenak mulutnya.
Hari sudah malam. Desiran dingin itu terus-terusan menusuk tulang hingga ke sumsum. Bintang-bintang berebut menempati angkasa yang luas, bersama bulan menerangi malam yang sepi bagi Karin ini. Dia cuma duduk termenung, meratapi nasibnya yang mesti berjuang bertahan di pulau menyebalkan ini, bersama Kazune yang masih ngambek. Bagaimana dengan tidur malam ini? Bagaimana dengan makan? Mandi? Bagaimana kalau tidak ada yang menemukan mereka berdua? Apa mereka berdua harus berada disini untuk selamanya? TIDAK! Walaupun sebenarnya, Karin senang... Tapi jika sikap Kazune yang seperti ini, ah masa bodoh dengan si pirang aneh itu, yang penting, bagaimana mereka bisa keluar dari tempat sepi nan menyeramkan ini?
"Bodoh, kamu mau makan atau tidak?" suara ketus Kazune membuyarkan lamunan Karin yang sedang sibuk memikirkan cara keluar dari masalah besar yang tengah mengurung mereka.
Karin merengut.
"Mau makan tidak?"
"Tidak." Karin menjawab tanpa menoleh. Sebenarnya perutnya berkata lain, apalagi dengan bau ikan bakar yang tercium jelas dihidungnya.
Karin tetap duduk menghadap pantai, memeluk kedua lututnya. Menelan ludah, membayangkan betapa lezatnya ikan bakar, disaat lapar memang semuanya terasa lezat, tapi rasa gengsinya pada Kazune masih ada, yang berhasil menghalangi gerakan tangannya untuk menyambar ikan itu. Dan bau itu semakin nyata, semakin menusuk hidung.
"Nih, makan. Kalau kau kelaparan disini aku tidak akan tanggung jawab." Kazune menyerahkan seekor ikan yang masih mengepulkan asap, kemudian duduk disamping Karin sambil menikmati ikan bakarnya.
Mau tak mau Karin menerima ikan itu. Habisnya bagaimana lagi? Karin pun menghabiskannya dengan lahap.
"Yang bilang tidak mau makan tadi siapa? Kenapa sekarang malah jadi rakus seperti itu?"
Karin mendengus. Mulutnya terus melahap ikan yang sekarang tinggal separuh. Hingga habis, Kazune cuma menggelengkan kepalanya.
Lama, mereka cuma berdiam-diaman ditepi pantai itu. Kazune tampak serius, sedang memikirkan sesuatu rupanya, dan itu tidak lain adalah cara untuk keluar dari pulau tak berpenghuni ini. Karin menguap, sudah mengantuk.
"Kalau mengantuk, tidur saja." Kazune memperhatikan Karin.
"Dimana?" Karin menyapu keadaan sekitar dengan mata zamrudnya, tampak samar karena gelap, dan hanya ada seberkas api kecil yang membantu penglihatan mereka.
"Aku lihat disebelah sana ada gua kecil, kita bisa tidur di bagian depannya." Kazune menunjuk ke arah tempat yang dimaksud. Karin melihatnya.
"Apa tidak mengerikan? Kalau tiba-tiba ada..."
"Habis kamu mau tidur dimana lagi? Disini?" Kazune menunjuk tempatnya duduk. "Kalau ada ombak besar datang tiba-tiba bagaimana? Mau?"
Karin merengutkan ekspresinya lagi, kemudian beranjak tanpa kata-kata menuju gua kecil itu. Membersihkan sedikit, kemudian mencoba berbaring dengan berbantalkan tangannya sendiri. Menyakitkan, tapi tak apalah, yang penting ada tempat untuk tidur.
Karin memejamkan matanya. Tangannya dirapatkan, melindungi dirinya dari angin yang mendesir dengan nada yang agak mengerikan, menimbulkan sedikit kesan horor yang membuatnya jadi susah tidur. Didengarnya suara langkah kaki yang mendekatinya. Karin sontak mengubah posisinya menjadi duduk, menoleh ke sumber suara itu.
"Kazune?"
"Kenapa?"
"K...Kau tidur disini juga?"
"Memangnya aku mau tidur di dekat ombak nakal itu? Tenang saja, aku tidak akan macam-macam..."
Karin berusaha menghilangkan kemerahan diwajahnya. Tidur bersebelahan dengan Kazune?
"Sudah, cepat tidur." Kazune berbaring membelakangi Karin.
Karin kembali merebahkan tubuhnya. Tangannya terus mendekap erat, seperti tadi, mempertahankan dirinya dari rasa yang seperti akan membekukan tubuhnya.
Tapi, sejurus kemudian ia merasa seperti ada sesuatu yang menyelimutinya, bersamaan dengan rasa dingin yang mulai berkurang. Dibukanya matanya kembali. Tampak jaket Kazune menyelimuti kakinya yang hanya memakai celana selutut.
"Tidak apa-apa, pakailah..." Kazune tersenyum lembut.
Karin menampakkan kemerahan diwajahnya lagi. "E...Ehm... Terima kasih, Kazune. Selamat tidur."
"Ya..." Kazune menjawab dengan pelan.
Kazune membuka perlahan matanya, menyadari kalau hari sudah mulai pagi, dengan sinar matahari yang telah menguning, ditambah dengan rasa hangat yang mulai merasuk ke kulit putihnya.
Dilihatnya lurus ke arah lautan. Kalau-kalau ada pertolongan jika mereka beruntung. Tapi sepertinya mereka harus bertahan disini untuk lebih lama lagi. Kazune mengarahkan bola matanya ke samping kirinya. Karin masih tidur. Posisinya sudah berputar 45 derajat dari posisi lurus tadi malam. Kazune sekali lagi menggelengkan kepala. Ini bukanlah gaya tidur perempuan yang baik. Disingkirkannya anak rambut yang menutupi wajah Karin. Ah, biar bagaimanapun Karin, dia tetaplah perempuan yang disukai Kazune. Walau memang Kazune agak kesal dengan tingkah Karin yang menurutnya kekanak-kanakan.
Kazune memutuskan mengelilingi pulau kecil ini sebentar. Mencari apapun yang bisa mereka makan untuk pagi ini, atau kalau beruntung dia bisa menemukan pertolongan meskipun kemungkinannya sangat kecil. Biarlah Karin tidak usah ia bangunkan.
Sekarang, sudah satu jam lebih Kazune mengitari keadaan sekitar. Ia merasa bisa sedikit berharap, karena tadi ia melihat ada pulau lain yang tidak terlalu jauh dari situ, dan kelihatannya berpenghuni, karena Kazune melihat beberapa rumah penduduk yang ada di tepiannya. Tinggal menunggu orang-orang yang pastinya sebagai nelayan itu berlayar, dan menemukan mereka, maka akses untuk kembali ke kapal asal mereka akan lebih mudah.
Di tangan Kazune sudah ada beberapa buah-buahan yang mungkin bisa digunakan untuk mengisi perut mereka setidaknya sampai nanti siang.
"Karin! Hei, sampai kapan kamu mau tidur, hah?" Kazune memasuki gua tadi.
"Eh, Karin?" Kazune terkejut, Karin tidak ada di tempat semula.
"Karin! Hei!" Kazune berlari keluar, siapa tahu Karin tidak terlalu jauh. Tapi, sia-sia, sepertinya Karin sudah menghilang entah kemana.
"Apa jangan-jangan dia sudah mendapat pertolongan? Tapi masa dia melupakan aku?" Kazune mengomel sendiri.
"Gawat!" Kazune menepuk dahinya sendiri. Mengapa Karin mesti hilang disaat seperti ini?


To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar